1. v Teori Motivasi Kebutuhan Maslow
Dalam teori hierarki kebutuhannya, Maslow
mengajukan bahwa semua orang memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus
terpuaskan terlebih dahulu sebelum mereka menyadari kebutuhan-kebutuhan lain
yang lebih tinggi tingkatnya. Ia mengidentifikasi lima jenis kebutuhan:
-
Kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kebutuhan-kebutuhan
dasar ini termasuk makanan, rumah tinggal, dan pakaian. Di temppat kerja,
pemberi kerja memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini dengan membayar gaji dan upah
serta membangun suasana kerja yang nyaman.
-
Kebutuhan akan keselamatan (safety needs). Kebutuhan-kebutuhan
ini mengacu pada hasrat terhadap perlindungan fisik dan ekonomis. Karyawan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan ini dengan memberikan manfaat seperti program dana pensiun,
keamanan kerja, dan lingkungan kerja yang aman.
-
Kebutuhan
Sosial (social needs). Orang-orang ingin diterima oleh keluarga dan
individu-individu lain dan kelompok. Di tempat kerja, para karyawan ingin
membangun hubungan baik dengan rekan kerja dan manager mereka dan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas kelompok.
-
Kebutuhan
akan penghargaan (esteem needs). Orang-orang senang menerima perhatian,
pengakuan, dan apresiasi dari orang lain. Karyawan merasa senang ketika mereka
dihargai atas kinerja yang baik dan dihormati atas konstribusi mereka.
-
Aktualisadsi
diri (self-actualization). Kebutuhan-kebutuhan ini mendorong orang-orang
untuk mencari pemenuhan kebutuhan, menyadari tentang potensi diri mereka, dan
secara penuh menggunakan bakat dan kapabilitas mereka. Para karyawan dapat
memuaskan kebutuhan-kebutuhan ini dengan menawarkan penugasan kerja yang
kreatif dan menantang untuk peningkatan diri dengan mempertimbangkan kebaikan
individu.
Menurut Maslow
orang-orang harus memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang jenjangnya lebih rendah
sebelum mereka termotivasi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih
tinggi.
v Teori
Herzberg Dua-Faktor
Teori dua faktor (two
factor theory) disebut sebagai teori higiene (motivation hygiene
theory) yang dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg. Dengan
keyakinan bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan
bahwa sikap seorang terhaadap pekerjaan bisa dengan sangat baik menentukan
keberhasilan atau kegagalan.
Menurut Herzberg
bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, menghilangkan
karakteristik-karakteristik yang tidak memuaskan dari suatu pekerjaan belum
tentu membuat pekerjaan tersebut memuaskan. Menurutnya faktor-faktor yang
menghasilkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang
menimbulkan ketidak puasan kerja. Oleh karena itu, manager yang berusaha
menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja mungkin
menghadirkan kenyamanan, namun belum tentu motivasi. Mereka akan membuat
angkatan kerja merasa nyaman, bukan memotivasi.
Sebagai hasilnya,
kondisi-kondisi yang melingkup pekerjaan seperti kualitas pengawasan, imbalan
kerja, kebijaksanaan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan
individu lain, dan keamanan pekerjaan digolongkan oleh Herzberg sebagai
faktor-faktor higiene (hygiene factors). Ketika faktor-faktor tersebut
memadai, orangorang tidak akan merasa tidak puas, namun bukan berarti mereka
merasa puas. Herzberg menyatakan penekanan faktor-faktor yang berhubungan
dengan pekerjaan itu sendiri atau dengan hasil-hasilnya ialah seperti peluang
promosi, peluang pengembangan diri, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian.
v Achievement
Motivation Theory (Mc. Clelland)
Teori motivasi
berprestasi merupakan teori yang dikenalkan oleh David McClellan, namun dasar
teori ini berdasarkan teori kebutuhan Maslow. Menurut McClelland hal-hal yang
memotivasi seseorang adalah:
1. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power, n Pow)
2. Kebutuhan akan afiliasi/perkumpulan (need for affiliation, n
Af)
3. Kebutuhan akan prestasi (need for achievement, n Ach)
Dalam membangun teorinya ini, McClelland mengajukan teori
kebutuhan motivasi yang berkaitan erat dengan konsep belajar. McClelland
percaya bahwa banyak kebutuhan yang dapat diperoleh dari kebudayaan suatu
masyarakat. Untuk melihat motivasi berprestasi ini McClelland menggunakan
metode pengujian dengan Thematic Apperception Test (TAT).
Dari penelitian
yang dilakukan McClelland ini, kemudian ditetapkan profil individu yang
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi (achievers):
1. Individu ini memilih untuk menghindari
tujuan prestasi yang mudah dan sulit. Mereka cenderung menetapkan tujuan
prestasi yang moderat yang dianggap mampu mereka raih dan mengambil resiko yang
telah diperhitungkan.
2. Individu ini menginginkan umpan balik yang
konkret dan langsung tentang hasil pekerjaan mereka.
3. Individu ini menyukai tanggung jawab
pribadi untuk memecahkan masalah.
2. Teori
tentang gaya kepemimpinan berusaha mengkaji perilaku atau tindakan pemimpin
dalam mempengaruhi dan/atau menggerakkan para pengikutnya guna mencapai suatu
tujuan. Perilaku dan tindakan tersebut pada dasarnya dapat dipahami sebagai dua
hal berbeda tetapi saling bertautan, yakni (1) fokus terhadap penyelesaian
tugas (pekerjaan) atau task/production-centered; dan (2) fokus pada upaya
pembinaan terhadap personil yang melaksanakan tugas/pekerjaan tersebut (people/employee-centered).
Lewin,
Lippitt, dan White (Dunford, 1995), pada tahun 30-an melakukan studi terkait
dengan tingkat keketatan pengendalian, dan melahirkan terminologi gaya
kepemimpinan autocratic, democratic, dan laissez-faire.
1. Kepemimpinan
otokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang tinggi tanpa kebebasan
dan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan. Pemimpin bersifat
otoriter, tidak bersedia mendelegasikan weweang dan tidak menyukai partisipasi
anggota.
Situasi
yang tepat untuk pola kepemimpinan otokratis yaitu untuk perusahaan yang
berfokus pada target produksi dimana manager lebih menekankan pada produksi
yang harus dicapai oleh perusahaannya dan ketika suatu organisasi dalam keadaan
darurat dimana bawahan tidak dapat memberikan masukan yang baik.
2. Kepemimpinan
demokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang longgar, namun pemimpin
sangat aktif dalam menstimulasi diskusi kelompok dan pengambilan keputusan
kelompok, kebijakan atau keputusan diambil bersama, komunikasi berlangsung
timbal balik, dan prakarsa dapat berasal dari pimpinan maupun dari anggota.
Situasi
yang tepat untuk pola kepemimpinan demokratis adalah dimana organisasi
memiliki bawahan yang memiliki ide yang kreatif dan dapat di ajak kerjasama
dengan pemikiran lain.
3. Kepemimpinan
permisif (laissez-faire), menyerahkan atau membiarkan anggota untuk
mengambil keputusan sendiri, pemimpin memainkan peran pasif, dan hampir tidak
ada pengendalian/pengawasan, sehingga keberhasilan organisasi ditentukan oleh individu
atau orang per orang.
Situasi
yang tepat untuk pola kepemimpinan permisif (laissez-faire) adalah
jika pemikiran dan hasil kerja karyawan itu lebih baik dari atasannya dan
karyawan dapat di percaya dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasan.
Sumber:
Boone dan
Kurtz. (2007). Pengantar Bisnis: Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins dan
Judge. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Simamora.
(2008). Buku Ajar Pendidikan Dalam Keperawatan. Jakarta: Kedokteran EGC.
Wibowo, U.B.
(2011). Teori Kepemimpinan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar